Kepala Ombusman Aceh, Taqwaddin |
NOA l Banda
Aceh - Provinsi Aceh berdasarkan Laporan Dirjen Bina Keuangan Daerah,
Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) berada diurutan kelima terbesar setelah
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah dalam hal refocusing APBD
(APBA) untuk penanganan Covid-19.
Atas dasar
laporan tersebut, Ombudsman Perwakilan Aceh melalui kepalanya, Dr H Taqwaddin
SH,SE, MS mempertanyakan apa yang menjadi alasan dan pertimbangan sehingga Aceh
mengusulkan anggaran sebanyak itu.
"Penduduk
Aceh hanya 5,2 juta, lagi pula tingkat kerawanan Aceh lebih kecil dibandingkan
daerah lain. Apakah tidak ada komunikasi dengan provinsi lain waktu pembahasan
refocusing APBA. Misalnya bertanya ke provinsi lain yang penduduknya setara
dengan Aceh atau apalah," kata Taqwaddin melalui rilis yang diterima awak
media ini. Rabu (15/4/2020).
Bahkan,
lanjutnya, refocusing APBD Sumatera Barat jauh dibawah Aceh, begitu juga dengan
Sumatera Utara. Padahal jumlah penduduk dan tingkat kerawanan Sumut lebih
tinggi dari Aceh.
"Mohon
penjelasan dari pejabat Pemerintah Aceh maupun dari Rakan Anggota DPRA,"
kata Taqwaddin.
Lebih
lanjut, Taqwaddin menyebutkan, anggaran besar dapat dimaklumi, tetapi porsi
untuk masyarakat yang terkena dampak harus lebih besar jua, baik dalam bentuk
bantuan sembako atau pinjaman usaha untuk pasca Corona.
"Menurut
info dari laporan Kemendagri, Aceh me-refocusing APBA 2020 mencapai 219 M untuk penanganan
dampak ekonomi. Posisi Aceh berada pada urutan ke-5 nasional, yaitu DKI Jakarta
(1.5 T), Jawa Barat (690 M), Jawa Tengah (329 M). Jawa Timur (269 M) dan Aceh
(219 M)," papar Taqwaddin.
Lebih tegas,
dirinya juga mempertanyakan apayang dimaksud dengan upaya penanganan dampak
ekonomi. "Apakah ini berupa pemberian sembako atau bantuan tunai atau
bahkan termasuk pinjaman lunak untuk UMKM?," tulis Taqwaddin.
Lanjutnya,
Ini perlu dipertanyakan agar dana publik ini jelas dan tepat peruntukkannya.
Tepat sasaran; baik tepat orang, tepat waktu, tepat barangnya, tepat besaran,
maupun tepat laporannya.
"Terus
terang saja, bantuan sembako yang baru saja dilaunching beberapa hari lalu oleh
Plt Gubernur Aceh, menurut saya tidak memadai. Dibagikan kepada 60.000 Keluarga
dengan harga per paket Rp 200.000 dengan dana 12 M menurut saya sedikit sekali,
jika dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk ini yang mencapai 219
Milyar," kata Taqwaddin.
Isi paket
tersebut adalah beras, minyak goreng, mie instan, sarden dan gula. Kecuali
beras, semua barang bantuan sembako tersebut didatangkan dari luar daerah. “Tentu
saja ini melibatkan para pedagang besar yang pasti berorientasi pada mencari
laba,” imbuh Taqwaddin.
Apalagi,
lanjutnya, bantuan tersebut hanya diperuntukkan hanya bagi Orang Miskin Baru (OMB),
bukan penerima PKH dan penerima BLNT (bantuan langsung non tunai). “Saya
mendapat banyak pengaduan bahwa masih banyak orang miskin baru lainnya yang
tidak terdata oleh pihak kabupaten/kota, termasuk para guru bakti yang
jumlahnya ribuan orang,” kata Taqwaddin.
Terkait hal
itu, sambung Taqwaddin, dirinya menyarankan agar jumlah penerima bantuan
ekonomi akibat dari dampak Covid-19 dapat diperbesar. Baik diperbesar jumlah
orang maupun jumlah besaran bantuannya. “Sebaiknya lagi, jangan diberikan lagi
dalam bentuk paket barang. Ribet pengadaannya. Apalagi mesti cetak karung
khusus yang bernuansa warna politis seperti kemarin. Tetapi ditranfer langsung
ke OMB atau apapun namanya, yang penting penduduk Aceh. Mohon bantuannya
dipertimbangkan minimal Rp 500.000 per bulan,” sebutnya.
Selain untuk
Covid-19, kata Taqwaddin, refocusing APBA untuk jaring pengaman social juga
menempati urutan ketiga nasional. Berurutan, DKI Jakarta (6,5 T), Jawa Barat
(4,5 T), Aceh (1,39 T), Jawa Tengah (1,34 T), dan Jawa Timur (1,17 T).
“Mencermati
besaran alokasi anggaran di atas, nampak sekali Aceh seperti mau pamer atau mau
sok sendiri. Dalam banyak segi, Aceh tidak ada apa-apanya jika dibandingkan
dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi dalam hal jaring pengaman sosial,
posisi Aceh justru lebih tinggi ketimbang Jatim dan Jateng. Sehingga, patut
kita pertanyakan apa yang menjadi dasar pertimbangan pihak Eksekutif Aceh
mengalokasikan angka yang demikian fantastis,” tegas Taqwaddin.
Dalam
kapasitas Kepala Ombudsman RI Aceh, lanjutnya, dirinya yang fungsi dalam pengawas
penyelenggara pelayanan publik, tentu akan memberi apresiasi positif jika
penggunaan jaring pengaman sosial benar-benar ditujukan untuk kemaslahatan
perlindungan demi keselamatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Aceh.
“Saya
sarankan sebaiknya porsi yang lebih besar dalam jaring pengamanan sosial
diarahkan penggunaannya dalam bentuk pinjaman kewirausahaan. Ini penting
sebagai stimulus untuk menggerakkan ekonomi Aceh. Sehingga, momen Covid-19
justru kesempatan baik untuk menumbuhkan semangat wirausaha dan bisnis bagi
warga masyarakat Aceh. Ini harus kita gunakan menjadi momentum Aceh Bangkit,”
jelas Taqwaddin.
Dengan
logika di atas, Taqwaddin mengakui bermaksud, agar Anggaran Covid-19 Aceh yang
begitu besar, jangan hanya dioptimalkan pada penggunaan untuk biaya birokrasi
pemerintahan. Tetapi harus lebih banyak mengalir ke warga masyarakat lapisan
bawah, yang sangat merasakan dampak penyebaran virus Corona.
“Tentu saja
untuk paramedis yang menjadi benteng terakhir (ultimum remedium) penanganan
virus corona harus juga diberikan insentif dalam jumlah yang patut dan
menggembirakan,” cetus Taqwaddin.
Selain itu, Taqwaddin
juga menggarisbawahi bahwa dana tersebut harus dikelola dengan transparan dan
akuntabel. Tidak boleh ada korupsi dan macam-macam. “Ingat, arahan Presiden RI
dalam Kenduri Kebangsaan beberapa waktu lalu, terkait pengelolaan anggaran di
Aceh yang boros dan kurang bermanfaat bagi rakyat, harus menjadi perhatian, kepedulian,
dan kehati-hatian dari para Pimpinan Pemerintahan Aceh, baik Eksekutif maupun
Legislatif-nya. Dan, saya dapat info bahwa Aceh sedang dalam atensi RI 1,”
terangnya.(RED).