Banda Aceh – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) sebagai bagian dari pembahasan Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum, Ketentraman, dan Perlindungan Masyarakat.
RDPU yang dipimpin oleh Sekretaris Komisi I DPRA, Arif Fadillah, ini berlangsung di ruang Serbaguna lantai II Sekretariat DPRA, Jalan Teungku Daud Beureueh, Banda Aceh, pada Selasa, 28 Oktober 2025.
Selain Sekretaris Komisi, RDPU ini dihadiri oleh sejumlah Anggota Komisi I DPRA, termasuk politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ihsanuddin MZ. Pelaksanaan RDPU ini juga melibatkan berbagai unsur dari tingkat provinsi dan perwakilan dari kabupaten/kota se-Aceh, menandakan cakupan partisipasi yang luas.
Forum RDPU, yang berlangsung mulai sekitar Pukul 10.00 WIB hingga dilanjutkan kembali setelah salat dan makan siang, dibagi menjadi beberapa sesi. Kesempatan ini diberikan secara optimal oleh Komisi I DPRA untuk menjaring masukan dan saran substantif dari para peserta demi penyempurnaan Raqan tersebut.
Antusiasme peserta terlihat jelas; setiap sesi diskusi dibuka, banyak peserta yang segera mengacungkan tangan untuk memberikan pandangan konstruktif terhadap Raqan tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum, Ketentraman, dan Perlindungan Masyarakat tahun 2025.
Misalnya, salah seorang peserta RDPU, Junaidi Ahmad, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Pidie, menyoroti huruf c Pasal 52.
Pasal tersebut mengatur larangan bagi setiap peserta didik untuk berada di tempat-tempat prostitusi, tempat hiburan malam, public house (PUB), diskotik, tempat karoke, dan/atau sejenisnya.
“Pasal 52 ada poin c, anak-anak dilarang berada di tempat prostitusi. Apa memang di Aceh ini ada [tempat prostitusi]?,” tanya Junaidi Ahmad. Menurut Junaidi Ahmad, penyebutan spesifik pada poin c Pasal 52 dalam Raqan tersebut seolah-olah mengindikasikan bahwa lokasi-lokasi tersebut benar-benar ada di Aceh.
Masukan lain datang dari Eva Susanna dari Yayasan Meuligoe Advocacy. Ia menyarankan agar Raqan ini juga mengatur larangan terkait penggunaan bahasa-bahasa kasar yang disampaikan melalui media sosial.
“Seharusnya masyarakat jangan menggunakan bahasa-bahasa kasar, ini perlu diatur,” ujarnya, pada Selasa. Sementara itu, Sekretaris Komisi I DPRA Arif Fadillah menjelaskan bahwa melalui RDPU ini, para legislator berharap mendapatkan masukan, saran, pendapat, serta pandangan dari tokoh masyarakat dan berbagai lembaga—baik pemerintah maupun nonpemerintah—yang telah diundang. “Tujuan akhirnya adalah untuk kesempurnaan Raqan.
Kami tahu ini masih bahan baku versi DPRA, belum menyentuh unsur-unsur pandangan dari masyarakat, maka kita undang, kita duduk sama-sama,” kata politisi Partai Demokrat tersebut.
Lebih lanjut, Arif Fadillah menegaskan bahwa setelah Raqan ini disahkan menjadi Qanun Aceh, pihaknya akan mengupayakan anggaran agar Qanun dapat berjalan efektif. Ia juga berharap tim eksekutif dapat mengimplementasikannya secara maksimal, tidak hanya sebatas melahirkan regulasi.
Tujuan utama dari Raqan ini, setelah menjadi Qanun, adalah untuk menjalankan polarisasi kerja yang bersifat preventif, bukan lagi defensif. “Kita tidak lagi memadamkan api setelah terbakar. Kita akan menerapkan pola kerja sebelum timbul api, kita cegah. Inilah tujuan penerapan Qanun Aceh ini nantinya, dititikberatkan pada pencegahannya, bukan penanganannya,” ungkap Arif Fadillah.
Sedangkan jumlah pasal yang direncanakan dalam draft Raqan Ketertiban Umum, Ketentraman, dan Perlindungan Masyarakat Aceh Tahun 2025 ini terdiri sampai bab XVII dan 115 pasal, baik itu ketentuan umum hingga ketentuan pidana. [Adv]
Editor: Redaksi


















