Banda Aceh – Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, menegaskan dana bantuan keuangan untuk partai politik (parpol) di Aceh pada 2025 wajib dikelola secara transparan dan akuntabel. Alasannya, alokasi hibah tersebut tercatat sebagai yang terbesar di Indonesia.
“Dengan dana sebesar ini, kita berharap publik di Aceh ikut mengawasi apakah benar-benar digunakan untuk penguatan politik internal partai, membangun etika berpolitik, dan mendorong demokratisasi di internal partai,” Ujarnya 15 September 2025.
Sebelumnya, Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) menetapkan 13 parpol penerima hibah keuangan tingkat DPRA dengan total anggaran Rp29,3 miliar. Ketetapan itu tertuang dalam surat bernomor 200.2/1020/2025.
Menurut Alfian, formula pengalokasian di Aceh, yakni Rp 10 ribu per suara sah, jauh lebih tinggi dibanding provinsi lain.
“Di Maluku misalnya hanya 5 ribu, bahkan di Sulawesi 3 ribu. Jadi Aceh paling tinggi, hampir 400 persen lebih besar,” jelasnya.
Ia menekankan, besarnya dana harus berbanding lurus dengan transparansi, akuntabilitas, serta demokrasi internal parpol. Namun pengalaman masa lalu justru menunjukkan sebaliknya.
“Pada 2013–2014, saat diuji soal akses keuangan, rata-rata parpol di DPRA resisten. Publik dianggap asing, padahal mereka tak punya akuntabilitas maupun transparansi,” ungkap Alfian.
Jika parpol abai berbenah, kata dia, maka dampaknya langsung terasa ketika mereka duduk di parlemen atau eksekutif. Pola pengelolaan yang tidak sehat di internal partai akan merembet pada tata kelola pemerintahan
“Kita berharap dana ini dimanfaatkan maksimal, jangan ada manipulasi,” tegasnya.
Alfian meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Aceh untuk melakukan audit rutin.
“Apalagi jumlahnya tidak sedikit. Pada 2026 nanti, masyarakat sipil, media, dan akademisi harus mengevaluasi sejauh mana transparansi dan akuntabilitas dana ini, serta apakah berdampak pada pendidikan kader, etika politik, dan demokratisasi internal partai,” pungkasnya.
Editor: RedaksiSumber: https://Ajnn