Jakarta – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak tak setuju dengan wacana terkait hak imunitas atau perlindungan hukum terhadap profesi advokat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Ia menilai langkah itu tidak tepat secara yuridis.
Menurut dia, pengaturan imunitas terhadap advokat tersebut seharusnya tidak dicantumkan dalam KUHAP. Sebab, kitab yang rencana akan disahkan pada 2026 itu mengatur hukum pidana formil.
“KUHAP adalah hukum acara pidana yang hanya mengatur tata cara penegakan hukum pidana materiil, mulai dari penyidikan hingga putusan. Bukan tempat untuk mencantumkan perlindungan profesi,” ujar Tanak dalam keterangannya, Minggu, 13 Juli 2025.
Johanis menegaskan aturan terkait perlindungan atau imunitas bagi profesi penegak hukum sebaiknya diatur dalam undang-undang sektoral masing-masing. Sebagai contoh, imunitas jaksa diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan, dan imunitas hakim diatur dalam Undang-Undang Kehakiman, bukan dalam KUHAP.
“Jika advokat menghendaki imunitas atau perlindungan hukum, hal itu seharusnya diatur dalam Undang-Undang tentang Advokat, seperti halnya perlindungan jaksa diatur dalam UU Kejaksaan,” ujarnya.
Tanak berharap para pembuat undang-undang dapat mempertimbangkan ulang substansi pasal tersebut. Hal ini agar tidak terjadi kekeliruan dalam penempatan norma hukum dalam sistem perundang-undangan nasional.
“Bukan dengan cara mencantumkan dalam Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana Formil) seperti yang diatur dalam Pasal 140 ayat 2 RUU KUHAP,” kata dia.
Aturan mengenai imunitas advokat masuk dalam Pasal 140 ayat (2) dalam RUU KUHAP. Klausul tersebut berbunyi; advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar persidangan.
Editor: Redaksi