Home / Berita / Parlementarial / Pemerintah

Sabtu, 14 Juni 2025 - 07:45 WIB

Anggota DPRA Bunda Salma Ingatkan Ketua DPRD Sumut Erni A Sitorus Prihal 4 Pulau di Aceh Singkil

REDAKSI

Anggota DPRA, Hj Salmawati atau Bunda Salma (kiri), dan Ketua DPRD Sumut, Erni Ariyanti Sitorus (kanan).

Anggota DPRA, Hj Salmawati atau Bunda Salma (kiri), dan Ketua DPRD Sumut, Erni Ariyanti Sitorus (kanan).

Banda Aceh – Sengketa atas empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara telah memasuki fase yang mengganggu stabilitas hubungan antar daerah. Anggota Komisi III DPR Aceh dari Partai Aceh, Hj Salmawati SE MM, yang juga istri dari tokoh utama perdamaian Aceh sekaligus Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), dengan tegas mematahkan narasi dominan dari Ketua DPRD Sumut Erni Ariyanti Sitorus, SH MKn.

Menurut Bunda Salma, penetapan Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Pulau Panjang sebagai bagian dari Sumut melalui keputusan administratif Mendagri adalah tindakan sepihak yang tidak mengindahkan spirit rekonsiliasi antara Aceh dan pusat. “Saya bicara bukan hanya sebagai anggota DPRA, tapi sebagai warga Aceh. Ini bukan semata urusan teknis-administratif seperti yang coba dibingkai ketua DPRD Sumut. Ini adalah soal keadilan konstitusional, soal bagaimana negara memperlakukan Aceh pasca perdamaian,” kata Bunda Salma, Sabtu (14/6/2025).

Bunda Salma mengingatkan publik bahwa wilayah Aceh diatur secara khusus oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai manifestasi dari MoU Helsinki yang mengakhiri konflik bersenjata puluhan tahun. Dalam konteks itu, tindakan Mendagri menerbitkan keputusan tanpa konsultasi resmi dengan DPRA dan Pemerintah Aceh bukan hanya keliru, tapi juga melanggar prinsip perdamaian yang dijamin negara.

Baca Juga :  Kadisdik Aceh Tegaskan Pentingnya LKS yang Jujur dan Berkualitas

“Kalau Pemerintah Pusat bisa seenaknya menyeret wilayah Aceh tanpa dialog, tanpa musyawarah, lalu di mana lagi ruang kami sebagai daerah bersatus khusus? Ini bukan sekadar penghapusan empat pulau, ini pengingkaran terhadap kehormatan Aceh sebagai pihak dalam kesepakatan damai,” ujar Salma.

Soal sikap Ketua DPRD Sumut Erni Ariyanti Sitorus yang mendesak semua pihak patuh pada keputusan Mendagri, Bunda Salma menyebut hal itu sebagai sikap hegemonik yang tak mencerminkan etika kebangsaan antar daerah. “Saya mohon DPRD Sumut tidak bertindak seperti penjajah yang berlindung di balik kertas Pusat. Jangan seolah-olah karena Mendagri sudah memutuskan, maka itu jadi kebenaran mutlak. Ini bukan zaman Hindia Belanda. Negara ini dibangun dengan kesepakatan, bukan dengan pemaksaan administratif,” kritik Bunda Salma.

Baca Juga :  Bunda PAUD Rita Mayasari Dukung Pagelaran Seni TK Se-Aceh Besar 

Bunda Salma juga menilai bahwa tawaran kelola bersama oleh Bobby dinilai problematis. Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution disebut sempat menawarkan skema pengelolaan bersama potensi empat pulau tersebut. Namun, Bunda Salma justru menilai pendekatan tersebut menyesatkan karena menggunakan bahasa kompromi di atas pelanggaran.

“Apa artinya ‘kelola bersama’ kalau wilayahnya sendiri diambil tanpa diskusi? Itu seperti mencuri sawah orang lalu mengajak bertani bersama. Bukan kompromi, itu pelecehan terhadap logika keadilan,” tegasnya.

Bunda Salma mengakui bahwa jalur PTUN adalah mekanisme legal yang harus ditempuh, namun ia menegaskan bahwa proses hukum saja tidak cukup. Negara harus mengoreksi prosedur internalnya, mulai dari peta dasar, kajian ilmiah, hingga mekanisme pengambilan keputusan. Apalagi menyangkut Aceh sebagai bagian wilayah yang paling sensitif.

“Jangan berlindung di balik frasa ‘kajian ilmiah’. Jika memang ada dasar ilmiah, publikasikan! Undang tim ahli netral, buka diskusi publik, biarkan rakyat Aceh melihat apakah ini keputusan objektif atau keputusan politis yang dibungkus birokrasi,” usulnya.

Baca Juga :  Plt. Sekda Aceh Temui Sekjen DPR RI, Dorong Revisi UUPA Masuk Prioritas Prolegnas 2025

Bunda Salma menyebut bahwa sikap Aceh tetap dalam kerangka hukum Indonesia, tapi menuntut negara untuk mematuhi konstitusi dan etika keadilan. “Aceh bukan provinsi manja, tapi juga bukan provinsi yang bisa dikebiri haknya. Kalau pusat ingin damai ini langgeng, maka perlakukan Aceh sebagai partner dalam rekonsiliasi, bukan sebagai objek peta-peta yang digeser sesuka hati,” tegasnya.

Sebagai penutup, Bunda Salma mengingatkan bahwa konflik Aceh bermula dari ketidakadilan dan pemaksaan dari Pusat. Jika luka lama itu dihidupkan kembali lewat keputusan teknokratik yang tak transparan, maka konsekuensi sosial-politiknya harus ditanggung bersama.

“Kami rakyat Aceh tidak sedang mencari musuh. Tapi jangan anggap kesabaran kami rakyat Aceh sebagai kelemahan. Negara harus segera memperbaiki proses ini. Jangan ulangi dosa historis terhadap Aceh dalam bentuk baru. Bukan Aceh yang terlalu sensitif, tetapi negara yang terlalu cepat lupa,” pungkas Bunda Salma.[Adv]

Editor: Redaksi

Share :

Baca Juga

Berita

Pj Gubernur Safrizal Tinjau Lahan Lokasi Rencana Pembangunan Venue PORA 2026

Berita

Lantik Pejabat Eselon II, III, dan IV, Ini Pesan Gubernur Aceh 

Berita

Tindak Lanjut Instruksi Gubernur tentang Salat Jamaah, Plt Sekda Buka Rakor Satpol PP WH se-Aceh Guna Rumuskan SOP Penegakan di Lapangan

Aceh Besar

Lima Desa Masuk Nominasi Lomba Gampong Tingkat Kabupaten Aceh Besar

Aceh Besar

Begini Kondisi Arus Balik Lebaran di Pelabuhan Ulee Lheue dan Terminal Bus Batoh Banda Aceh

Berita

Usai Shalat Ied, Pemkab Aceh Besar Serahkan 4 Hewan Qurban

Parlementarial

DPRK Gelar Paripurna Hasil Penetapan Pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banda Aceh Periode 2025-2030

Parlementarial

Ramza Harli: Apa Urgensinya bagi Pj Wali Kota Melakukan Mutasi Pejabat Eselon 2