Banda Aceh – Jumlah kasus HIV yang terdeteksi di Aceh sejak tahun 2004 hingga September 2025 mencapai angka yang tidak sedikit, yaitu 2.057 kasus. Bahkan, hal yang mengejutkan, 81 persen dari total kasus HIV tersebut terjadi pada laki-laki, sementara 19 persen dialami oleh perempuan. Merespons masalah serius ini, Ketua Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Rijaluddin, S.H., M.H., pada Rabu, 12 November 2025.
dari pantauan wakil rakyat bahwa persentase penderita HIV di Aceh selalu mengalami kenaikan setiap tahun.
“Sebenarnya kita (DPRA) setiap tahun pantau, selalu naik persentasenya,” Ujar Rijaluddin.
Politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini pun menyoroti Pemerintah Aceh terkait peningkatan kasus HIV setiap tahun tersebut.
Menurut pria asal Gayo Lues itu, anggaran yang disediakan Pemerintah Aceh pada periode sebelumnya untuk tahun 2025 diakui Rijaluddin masih sangat kecil.
Keterbatasan anggaran ini menyebabkan Dinas Kesehatan sebagai sektor utama mengalami kesulitan dalam melaksanakan upaya pencegahan. “Sebenarnya sangat kita sayangkan, terutama juga dari Pemerintah Aceh, tindakan-tindakan atau upaya-upaya untuk pencegahan penularan dan pendataan itu sangat minim sekali,” sebutnya.
Kita melihat juga anggaran yang disediakan Pemerintah Aceh terhadap penyakit menular ini, yang di dalamnya ada HIV, sangat kecil sekali,” lanjut Rijaluddin, Tak hanya soal anggaran yang menjadi sorotan wakil rakyat itu.
Rijaluddin juga menyampaikan rasa prihatinnya karena angka kasus HIV di Aceh tergolong tinggi, mengingat Aceh merupakan daerah yang memberlakukan syariat Islam.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa upaya terpenting untuk menyikapi kasus HIV di Aceh adalah menghentikan penularan dengan memaksimalkan pelaksanaan skrining.
Wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Aceh Tenggara dan Gayo Lues itu meminta agar deteksi kasus HIV di Aceh harus dilakukan skrining secara menyeluruh, baik itu di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, instansi pemerintah, perusahaan-perusahaan, maupun masyarakat secara luas, seperti para calon pengantin.
“Maka harapan kita, Pemerintah Aceh dalam melakukan pengawasan masalah ini untuk memaksimalkan skrining sampai ke sekolah-sekolah hingga instansi-instansi lainnya,” kata Rijaluddin. Selain itu, Ketua Komisi V DPRA, yang salah satu bidangnya membidangi kesehatan, mengajak pihak eksekutif untuk melaksanakan sosialisasi dengan melibatkan para ulama.
Contohnya, saat khutbah Jumat, ulama dapat mengingatkan masyarakat terhadap bahaya HIV. Tidak cukup sampai di sana, Rijaluddin juga mengharapkan agar Pemerintah Aceh dalam upaya pencegahan HIV ini memberikan ruang kepada para guru, minimal dua kali dalam setahun, untuk menerangkan terkait seksualitas (seksologi).
Tentu hal ini membutuhkan anggaran. Sedangkan untuk obat penanganan HIV, ia meyakini tidak ada masalah karena sudah disediakan oleh Pemerintah. Namun, yang perlu mendapat perhatian Pemerintah Aceh adalah anggaran untuk sosialisasi dan pendampingan.
“Walaupun tabu, kita harus berani menyampaikan kepada anak-anak minimal tingkat SMA. Tentu hal ini berkaitan langsung dengan ketersediaan anggaran,” ujarnya. Terakhir, menurut Rijaluddin, pencegahan sangat penting agar tidak berdampak kepada masyarakat lainnya.
Sebab, jumlah kasus yang ada saat ini adalah yang terdeteksi. “Angka yang tinggi ini berdasarkan kasus yang diketahui. Padahal, yang tidak diketahui ini yang menjadi bahaya laten,” ungkapnya.
Sebelumnya, dalam Pembekalan dan Sharing Session bertajuk “Konten Edukasi tentang HIV, Sifilis, Hepatitis B, dan Pencegahan Penularan Ibu ke Anak” yang diselenggarakan Sahas Inisiatif bersama UNICEF Perwakilan Aceh di Ivory Kuphi, Jalan Teuku Umar, Banda Aceh, pada Senin, 3 November 2025, Muhammad Jamil, SKM., mengungkapkan fakta dan data yang mengejutkan.
Total kumulatif kasus HIV dan AIDS di Aceh mencapai 2.057 kasus, dengan rincian HIV 1.993 kasus dan AIDS (Fase X atau Stadium 4) 64 kasus. Sedangkan kasus HIV dan AIDS sepanjang Januari hingga September 2025 adalah HIV 250 kasus dan AIDS 10 kasus.
Kemudian, terhitung 2004–September 2025, 81 persen kasus HIV di Aceh dialami oleh laki-laki, dan 19 persen dialami perempuan. Bahkan dari 81 persen kasus pada laki-laki, 53 persen di antaranya memiliki perilaku berisiko sebagai LSL (Laki Suka Laki) atau Gay. Selain itu, enam persen kasus terjadi pada usia 11–20 tahun, dan 46 persen kasus pada usia 21–30 tahun, yang sudah melakukan hubungan seks, baik sesama jenis maupun beda jenis.
Data tersebut tersebar di 23 kabupaten/kota. Bahkan, terhitung Januari–September 2025, 12 persen kasus pada usia 11–20 tahun dan 46 persen kasus pada usia 21–30 tahun. Dalam skrining, dari 80.146 orang yang diskrining ditemukan 120 positif HIV/AIDS dan 37 positif sifilis. Kemudian, dari 55.638 Ibu Hamil (Bumil) yang diskrining, ditemukan enam positif HIV, serta dari 9.372 calon pengantin (catin) yang diskrining, ditemukan enam positif HIV.
“Sebagaimana kita tahu, saat ini di Aceh dari tahun 2004 sampai September 2025, itu kasus HIV di Aceh 2.057 kasus,” aku Muhammad Jamil, Senin, 10 November 2025, terkait data Epidemiologi pada Dinas Kesehatan yang ia sampaikan saat menjadi narasumber dua pekan sebelumnya.
Fenomena ini, menurut Jamil, ada yang menyebut akhir zaman, tetapi selebihnya berhubungan dengan perilaku. Sebenarnya banyak faktor, ada kasus pernah dilecehkan waktu kecil yang kemudian terobsesi untuk mengulanginya atau melakukan itu kepada orang lain saat dewasa.
Ada juga pengaruh lingkungan. Kemudian, ada juga pengaruh kurang kasih sayang dari orang tua, terutama anak laki-laki yang kekurangan figur ayah. Walaupun harus dipahami, ayah sibuk bekerja mencari rezeki dan pulang ke rumah dalam keadaan lelah, sehingga bukan sengaja menciptakan jarak.
Lalu, penanganan medis bagi yang sudah ditemukan diobati 100 persen, kecuali bagi mereka yang menolak untuk diobati. Itulah sebabnya, Muhammad Jamil menyarankan agar generasi muda, “Kalian ini harapan bangsa kita, jadilah kalian pemuda yang kuat. Jika di luar sana ada yang berperilaku berisiko kemudian mengajak melakukan seks menyimpang, jangan layani.”
Ia juga mewanti-wanti agar tidak terjebak dengan uang dan perilaku menyimpang (tua bangka dan gadul). “Jika perempuan menjadi ‘ayam kampus’ dan tempat pelampiasan hawa nafsu tua bangka, maka masa depan kamu akan rusak. Fokus pada tujuan kalian.
Jika kuliah, kuliah yang benar. Kalau misalnya ada sedikit kekurangan yang diberikan orang tua, pahamilah bahwa orang tua kamu sayang sama kamu, ingin kamu berhasil,” pesan Muhammad Jamil. [Adv]
Editor: Redaksi


















