Jakarta – Akibat dari gaduhnya empat pulau yang awalnya tiba-tiba dialihkan dari Aceh ke Sumatera Utara, membuat masyarakat bertanya-tanya sebenarnya para pembantu alias menteri dari Presiden Prabowo Subianto apakah tidak melakukan koordinasi sebelumnya? Sehingga sudah berkali-kali terjadi kegaduhan yang munculnya dari dalam pemerintahan, kali ini juga dari pemerintahan sendiri yaitu Menteri Tito Karnavian.
Psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr. Mintarsih Abdul Latief Sp.KJ dalam keterangannya menjelaskan harus ada alasan kuat dan masuk akal agar masyarakat menjadi cerdas, sebab suatu kewajiban dalam bernegara adalah bagaimana agar pemerintah menjadikan rakyat cerdas, bukan sebaliknya.
“Apa alasannya empat pulau itu harus dipindahkan dari Aceh ke Sumatera Utara, apa keuntungannya? dan yang kita ketahui kan masing-masing kepentingan-kepentingan (Gubernur) itu berbeda-beda, dan yang seringkali kita lihat adalah penyimpangan-penyimpangan yang ada, itu kan ke arah komersil, jadi perlu dilihat ada apa di empat pulau itu. Kenapa empat pulau ini dipilih, kenapa menjadi heboh,” ujar Mintarsih kepada wartawan di Jakarta, Kamis (19/6/2025).
Suatu masalah, kata Mintarsih, kerap kali muncul di kemudian hari, lantaran ada hal-hal yang sengaja disembunyikan untuk kepentingan tertentu saja dan keuntungan pribadi serta gerombolan kejahatan.
“Kalau hanya pulau yang biasa, tidak memiliki arti maka tidak akan seheboh ini, Presiden seolah-olah baru tahu sekarang, apa yang terjadi? Lalu bagaimana jika yang lain meniru? Apakah ada sanksinya? Atau memang sekarang sudah semrawut, jadi perlu kita lihat ini komersilnya dimana? Karena kalau kita lihat pengalaman yang lain-lain, kalau sudah diambil sesuatu, itu pastinya isinya juga diambil, dikorupsikan jadi bahan untuk korupsi,” ulas Mintarsih.
Lebih lanjut dokter jiwa tersebut menerangkan, “Karena itu perlu sekali untuk mengusut (secara hukum), latar belakang di balik ini, tujuan yang diam-diam itu apa? Pagar laut kan juga begitu, siapa saja yang terlibat, apakah ini bisa dijadikan dasar untuk membersihkan situasi negara, jadi jangan terlalu bebas seorang pejabat melakukan apa saja secara terlalu bebas, diusut yang paling salah itu siapa, diusut sampai level yang tertinggi siapa saja yang ikut terlibat,” tegas Mintarsih.
Sementara itu Ketua Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda meyakini Presiden Prabowo Subianto akan mengambil langkah tegas terkait polemik empat pulau Aceh dan Sumatera Utara (Sumut).
Dijelaskannya keributan soal empat pulau tersebut terjadi setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang diketahui Menterinya adalah Tito Karnavian, mengeluarkan keputusan mengalihkan hak pengelolaan administratif empat pulau di pesisir barat Sumatera dari Pemerintah Provinsi Aceh ke Pemerintah Sumut.
Selama ini secara administratif, keempat pulau tersebut masuk wilayah Kabupaten Aceh Singkil dan Rifqinizamy yakin Prabowo akan memberi kepastian terkait polemik empat pulau tersebut.
“Sebagai Ketua Komisi II DPR RI, kami tentu menyambut positif dan mengapresiasi pernyataan Prof Sufmi Dasco Ahmad Wakil Ketua DPR RI yang telah berkomunikasi dengan Presiden Prabowo Subianto bahwa Pak Prabowo akan mengambil alih penyelesaian sengketa 4 pulau antara Aceh dan Sumatera Utara,” ujar Rifqinizamy.
Tidak lama kemudian Presiden segera bereaksi dan menegaskan, “Pulau Panjang, Pulau Lipan, Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek kembali milik Aceh,” perintah Presiden Prabowo Subianto, Selasa (17/6/2025).
Arahan itu disampaikan Presiden dalam memimpin rapat melalui konferensi video yang dilakukan disela-sela menghadiri undangan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Namun berbagai kalangan, hingga banyaknya netizen terus mempertanyakan soal sanksi terhadap para pejabat negara yang terkesan sudah seperti kepala negara dalam mengambil keputusan, dan tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka adalah pembantu Presiden.
Di tempat terpisah anggota DPR RI dari daerah pemilihan Aceh, Nasir Djamil juga mengingatkan agar dalam kehidupan hindari sifat rakus dan serakah, juga bahwa Aceh adalah wilayah yang memiliki sensitivitas historis dan politis karena pernah mengalami konflik bersenjata
“Jadi itu sensitivitas itu dibutuhkan, bukan hanya sekadar otoritas. Jadi otoritas minus sensitivitas ya akibatnya seperti ini,” kata Nasir.
Menurut legislator senior dari Komisi 3 DPR ini menjelaskan soal pengambil alihan ini juga dalam pandangan kami sebagai bentuk koreksi terhadap keputusan Mendagri. “Jadi koreksi Presiden sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan terhadap Menterinya yang barangkali dalam keputusan itu belum sempurna. Tidak bijak menyikapi daerah-daerah yang dulu pernah mengalami konflik bersenjata seperti Aceh-Indonesia,” jelasnya.
Intervensi Presiden juga, kata Nasir, bertujuan meredam ketegangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, khususnya Aceh dan Sumatera Utara, terkait status administratif empat pulau tersebut.
“Sepengetahuan saya, mengambil alih isu ini oleh Presiden kan dimaksud untuk meredakan ketegangan antara pusat dan daerah dan juga antara Aceh dan Sumatera Utara. Kami percaya bahwa tidak ada kepentingan apapun dari Presiden Prabowo Subianto terkait mengambil alih isu ini atau kasus ini,” paparnya.
Editor: Redaksi