Banda Aceh – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) resmi menetapkan Draf Rancangan Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dalam Rapat Paripurna yang digelar,
Rabu (21/5/2025).
Penetapan ini tak sekadar menutup Masa Persidangan I dan membuka Masa Persidangan II Tahun 2025, tapi juga menandai babak baru penguatan otonomi dan kekhususan Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rapat Paripurna dipimpin langsung oleh Ketua DPRA, Zulfadhli dan dihadiri oleh Gubernur Aceh, Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh, unsur Forkopimda, serta pimpinan partai politik lokal dan nasional.
Dalam sidang tersebut, seluruh unsur sepakat bahwa perubahan UUPA bukan sekadar pembaruan hukum, melainkan pernyataan politik yang menegaskan hak dan masa depan rakyat Aceh.
“Revisi ini lahir dari aspirasi rakyat dan dinamika pembangunan Aceh selama hampir dua dekade terakhir. Sudah saatnya kita menyempurnakan pasal-pasal yang perlu diperkuat, khususnya menyangkut kewenangan fiskal dan pengelolaan sumber daya alam,” tegas Zulfadhli dalam pidatonya.
Ia menyebut, proses penyusunan draf dilakukan secara inklusif dan ilmiah melalui pembentukan Tim Revisi yang melibatkan unsur pimpinan dewan, fraksi, serta para pakar dari Universitas Syiah Kuala dan berbagai kalangan profesional.
Sementara Ketua Tim Revisi, Tgk. Anwar Ramli, menjelaskan bahwa revisi mencakup sembilan pasal penting, meliputi penguatan kewenangan pengelolaan sumber daya alam, pengaturan Dana Otonomi Khusus dan sistem fiskal yang lebih adil, penegasan kewenangan zakat dan perpajakan lokal dan eningkatan status dan kekuatan hukum Qanun Aceh.
Perubahan ini secara esensial diarahkan untuk memperkuat posisi Aceh dalam sistem ketatanegaraan nasional tanpa menghilangkan prinsip dasar perdamaian dan kesepakatan Helsinki yang melandasi lahirnya UUPA.
“Draf ini disusun dengan landasan akademik dan pertimbangan konstitusional. Tujuannya bukan hanya mempertegas kekhususan Aceh, tapi juga untuk memastikan bahwa semangat perdamaian Helsinki tetap hidup dalam kerangka hukum nasional,” ujar Tgk. Anwar Ramli.
Penguatan otonomi Aceh diharapkan membuka ruang lebih luas bagi Pemerintah Aceh untuk mengelola potensi daerah secara mandiri dan berkelanjutan. Namun, Zulfadhli juga mengingatkan bahwa perjuangan belum selesai. Draf ini masih akan diajukan ke DPR RI dan Pemerintah Pusat untuk pembahasan lebih lanjut.
“Ini baru langkah awal. Kita butuh solidaritas seluruh elemen masyarakat Aceh untuk mengawal proses ini di tingkat nasional. Karena ini bukan sekadar perubahan hukum, ini perjuangan martabat dan masa depan Aceh,” ujarnya.
Editor: Redaksi