Jakarta, – Presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden akhirnya dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024.
Keputusan ini menutup perjalanan panjang pengujian undang-undang yang telah diajukan sebanyak 36 kali ke MK.
Putusan ini disampaikan MK pada Kamis (02/01) setelah mengadili empat perkara terkait uji materi pasal 222 Undang-Undang No.7/2017 tentang pemilihan umum.
Pada intinya, pasal itu mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya bisa diusung partai atau gabungan partai yang memiliki paling sedikit 20% jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK mencermati bahwa pemilu presiden selama ini didominasi calon-calon yang diusung partai politik tertentu.
Hal ini disebut membatasi hak konstitusional pemilih untuk mendapatkan pilihan alternatif yang memadai.
Selain itu, aturan presidential threshold yang ada dinilai cenderung hanya menghasilkan dua pasangan calon di tiap pemilu presiden, yang bisa membuat masyarakat dengan mudahnya terjebak dalam polarisasi.
Jika aturan itu dibiarkan, MK khawatir ujung-ujungnya hanya akan ada satu pasangan calon di pemilu presiden.
Apalagi, fenomena calon tunggal melawan kotak kosong di pemilihan kepala daerah tampak kian marak dari waktu ke waktu.
Di sisi lain, MK pun menilai jumlah calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak berpotensi merusak hakikat pelaksanaan pemilu langsung oleh rakyat.
Karena itu, MK memberi pedoman bagi pembentuk UU untuk melakukan “rekayasa konstitusional” atau revisi UU untuk menghindari munculnya jumlah calon terlalu banyak saat pemilu presiden.
Dalam putusan, MK menekankan beberapa pertimbangan dalam hal penghapusan ambang batas tersebut, sebagai berikut:
Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Pakar kepemiluan sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengungkapkan apresiasinya terhadap putusan ini.
Menurut Titi, perjalanan panjang ini menunjukkan kuatnya semangat untuk mengembalikan keadilan dalam sistem demokrasi Indonesia.
“Dengan segala dinamika yang terjadi dengan Mahkamah Konstitusi, ternyata Mahkamah Konstitusi telah kembali kepada identitas sesungguhnya sebagai penjaga demokrasi dan sebagai penjaga konstitusi,” tambahnya.
“Tidak ada yang dirugikan. Semua partai politik peserta pemilu mendapat manfaat akses pada pencalonan presiden yang setara,” katanya.
Dengan keputusan ini, kata dia, masyarakat juga mendapatkan keragaman pilihan politik melalui pemilu yang lebih inklusif.
“Anak-anak Indonesia jadi lebih berani bermimpi menjadi presiden/wakil presiden karena akses itu lebih terbuka untuk direalisasikan saat ini melalui Putusan MK No.62/PUU-XXII/2024,” kata Titi.
Ia juga menyerukan agar pemerintah, DPR dan semua partai politik menghormati putusan ini.
“Jangan sampai ada upaya mendistorsi putusan MK apalagi sampai berani melakukan pengingkaran atas putusan tersbut. Ini Putusan yang sangat baik dan membuat masa depan demokrasi Indonesia lebih adil, setara, dan inklusif,” katanya.
Ia berharap, sejak diketok putusan ini partai politik dapat menyiapkan kader-kader terbaiknya sebagai calon-calon potensial untuk Pilpres 2029.
“Namun, terlebih dahulu partai harus memastikan partai politik mereka bisa lolos menjadi perserta pemilu pada Pemilu 2029 mendatang,” kata Titi.
Dengan putusan ini, semua partai politik peserta pemilu kini memiliki hak yang sama untuk mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, tanpa terkecuali.